Perhatian perbankan nasional saat ini difokuskan pada likuiditas. Nixon Napitupulu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BTN), menyatakan bahwa meskipun likuiditas tersedia, namun harganya mahal karena dampak suku bunga tinggi yang diprediksi akan bertahan lama. “Likuiditas aman, tidak masalah. Hanya masalah harganya. Jadi kalau ditanya apakah likuiditas ketat? Definisinya tidak ada masalah. Likuiditas ada, tetapi harganya naik. Seperti ketika membeli pakaian, apakah pakaian tersedia? Ada, tapi harganya naik,” ujar Nixon di Perumahan Pesona Kahuripan 9, Kabupaten Bogor, Rabu (31/7/2024).
Sementara itu, Sigit Prastowo, Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), mengatakan bahwa likuiditas tetap menjadi perhatian utama bank pelat merah tersebut untuk semester II-2024. Hal ini didasarkan pada rasio pinjaman terhadap simpanan bank BUMN yang mengalami peningkatan. Permintaan kredit juga cukup tinggi, namun tidak seimbang dengan pertumbuhan simpanan atau dana pihak ketiga yang tinggi. “Secara umum, pertumbuhan kredit lebih tinggi daripada pertumbuhan pendanaan. Pertumbuhan kredit secara nasional sekitar 11-12%, sedangkan pendanaan tumbuh sekitar 7-8%. Ini akan mendorong kenaikan LDR secara keseluruhan. Jadi likuiditas tetap menjadi perhatian,” ujar Sigit di Mandiri Corporate University, Selasa (30/7/2024).
Meskipun demikian, Sigit menyatakan harapannya karena pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) telah membaik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan DPK naik 0,27% mtm atau 8,45% yoy menjadi Rp8.722 triliun per Juni 2024. Meski sedikit menurun dari tahun sebelumnya, yaitu 8,63% yoy pada Juni 2023. Sigit menyatakan hal ini menunjukkan perbaikan likuiditas secara umum. Dia juga berharap suku bunga acuan global Federal Reserve dapat segera dipangkas, sehingga Bank Indonesia (BI) juga dapat mengikuti. “Harapannya likuiditas semakin baik,” ucapnya.
Bank Indonesia telah meningkatkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25% pada Rapat Dewan Gubernur April 2024, dan masih mempertahankannya hingga saat ini.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menyebut pertumbuhan simpanan bank yang melambat terutama terjadi pada deposito, dipengaruhi oleh banyaknya alternatif instrumen penempatan dana. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat laju pertumbuhan dana non-DPK kembali naik, dengan pertumbuhan 5,38% yoy per Februari 2024.
Pertumbuhan dana non-DPK terutama disumbang oleh kenaikan pinjaman/pembiayaan diterima sebesar Rp 25,29 triliun dan kewajiban bank lain sebesar Rp 11,88 triliun. “Ini sejalan dengan strategi bank dalam diversifikasi sumber likuiditas. Akses sumber pendanaan non-DPK menjadi salah satu cara untuk mengatasi perbedaan pertumbuhan DPK yang lebih rendah dibandingkan kredit,” seperti yang dikutip dari Indikator Pasar Keuangan Maret 2024.
DPK perbankan tumbuh 7,4% yoy pada bulan kedua tahun ini, sedangkan kredit naik 12,4% yoy. Jasmin, Direktur Distribution and Institutional Funding BTN, menyatakan bahwa banyaknya pilihan instrumen investasi lainnya juga mempengaruhi likuiditas, seperti SBN dan SRBI yang menawarkan yield lebih tinggi dibanding deposito perbankan.
Taswin Zakaria, seorang bankir, juga menyatakan bahwa likuiditas ketat disebabkan oleh tekanan daya beli dan tren penempatan dana di luar deposito perbankan. Ia menyoroti kenaikan harga barang akibat pelemahan Rupiah yang berdampak pada daya beli konsumen.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya telah menyampaikan kekhawatirannya terhadap peredaran uang yang semakin kering pada akhir 2023, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stabil. Jokowi menilai masalah ini disebabkan oleh terlalu banyaknya instrumen keuangan yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan BI. “Jangan terlalu banyak membeli instrumen keuangan, agar sektor riil dapat tumbuh lebih baik,” ujar Jokowi di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia.