Muncul pembicaraan tentang kemungkinan dilaksanakannya Ujian Nasional (UN) lagi setelah berakhirnya masa jabatan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu’ti menyatakan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan apakah perlu atau tidaknya mengadakan kembali UN. Beliau mengakui bahwa keputusan mengenai hal-hal penting seperti UN tidak bisa diambil begitu saja. Prof. Mu’ti juga akan mendengarkan pendapat dari berbagai pihak terkait perlunya pelaksanaan UN.
Apakah UN masih diperlukan? Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Nisa Felicia, jika UN kembali diadakan di sekolah, hal ini menunjukkan adanya kemunduran. Nisa berpendapat bahwa UN dapat memberikan tekanan yang tinggi pada anak-anak, membuat mereka hanya fokus pada materi ujian tersebut. Hal ini dapat menyebabkan perilaku menyontek yang tidak diinginkan demi menjaga reputasi sekolah.
Nisa berpendapat bahwa saat ini sudah cukup jika sekolah hanya melakukan Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti UN. AN dipandang lebih aman karena peserta dipilih secara acak dan hasilnya hanya digunakan sebagai evaluasi sekolah. Menurut Nisa, paradigma bahwa anak harus ditakut-takutin untuk belajar sudah tidak relevan lagi. Belajar seharusnya menjadi proses yang menyenangkan dan didorong oleh motivasi internal untuk berkembang.
Dengan demikian, mengembalikan UN bukan hanya sekadar mengembalikan tesnya, tetapi juga akan mempengaruhi seluruh proses pendidikan yang sedang berjalan. Fokus saat ini adalah pada pengembangan karakter anak dan bukan pada tekanan ujian yang tinggi. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan dengan matang apakah UN benar-benar masih diperlukan dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini.